Sabtu, 16 Juli 2011

Biota pantai


HUTAN MANGROVE

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomis, dan ekologi. Besarnya peranan hutan atau ekosistem mangrove bagi kehidupan, dapat diketahui dari banyaknya jenis flora dan fauna yang hidup di dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove. Para ahli antara lain, Harger (1982), Hamilton & Snedaker (1984), Naamin (1990), Odum et al. (1982), dan Snedaker (1978) sependapat bahwa hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik, dengan berbagai macam fungsi, yaitu fungsi fisik, biologi, dan fungsi ekonomi atau produksi.

Hutan mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Sudah lebih dari seabad hutan mangrove diketahui memberi manfaat pada masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu sebagai sumber penghasil kayu bakar dan arang, bahan bangunan, bahan baku pulp untuk pembuatan rayon, sebagai tanin untuk pemanfaatan kulit, bahan pembuat obat-obatan, dan sebagainya. Secara tidak langsung hutan mangrove mempunyai fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar. Fungsi lain adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan pakan makanan biota, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota laut. Juga berbagai habitat satwa terbang, seperti burung-burung air, kelelawar dan berbagai habitat primata seperti bekantan yang bersifat endemik di Kalimantan, kemudian jenis-jenis lutung maupun monyet. Mangrove juga merupakan habitat bagi reptilia seperti buaya, biawak dan banyak jenis insekta.

Hutan mangrove ialah hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Egiceras, Scyphyphora dan Nypa (Soerianegara, 1987).

Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer (primary biotic component).

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut.

Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang

Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di laguna, estuaria, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).

Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut. Fungsi ekologis ekosistem mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak terganti oleh ekosistem lainnya. Misalnya, secara fisik hutan mangrove berfungsi menjaga stabilitas lahan pantai yang didudukinya dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan. Secara biologis, hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya. Misalnya: sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna. Secara ekonomis, hutan mangrove merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991).

Selain tumbuhan, banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove, baik di lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis binatang yang hanya sebagian dari daur hidupnya membutuhkan lingkungan mangrove. Jenis ini terutama Crustaceae, Mollusca dan ikan. Hal ini menunjukkan pentingnya mangrove bagi kehidupan binatang (Atmawidjaja, 1987).

Hutan mangrove mempunyai multifungsi yaitu fungsi hayati, fungsi fisik dan fungsi kimiawi. Sebagai penyumbang kesuburan perairan sudah tidak bisa disangkal lagi karena kawasan hutan mangrove merupakan perangkap nutrisi dan bahan organik yang terbawa aliran sungai dan rawa. Bahan organik mengalami penghancuran oleh fauna hutan mangrove dan selanjutnya proses dekomposisi oleh jasad renik menjadi berbagai senyawa yang lebih sederhana. Bersama dengan nutrisi yang dibawa sungai, bahan tersebut diserap oleh tumbuh-tumbuhan (Suwelo dan Manan, 1986).

A. Fungsi Mangrove
1.      Fungsi fisik
Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan dan gelombang dan angin kencang; mencegah intrusi garam (salt intrution) ke arah darat; mengolah limbah organik, dan sebagainya.

Hutan mangrove mampu meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto et al. (2003). Pratikto et al. (2002) melaporkan bahwa di Teluk Grajagan – Banyuwangi yang memiliki tinggi gelombang tersebut sebesar 1,09 m, dan energi gelombang sebesar 1493,33 Joule, maka ekosistem mangrove di daerah tersebut mampu mereduksi energi gelombang sampai 60%, sehingga keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil gelombang tsunami yang menyerang daerah pantai. 
Istiyanto, Utomo dan Suranto (2003) menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut.  Hasil pengujian tersebut dapat digunakan dalam pertimbangan awal bagi perencanaan penanaman hutan mangrove bagi peredaman penjalaran gelombang tsunami di pantai.

Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan).  Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya seperti jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu (Darmiyati et al., 1995), dan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm,   Ni ³ 2,4 ppm (Saepulloh, 1995).  Selain itu, hutan mangrove dapat mengendalikan intrusi air laut sebagaimana yang dilaporkan Hilmi (1998), yakni percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan.

2.      Fungsi biologis
Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.

Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990).

Kerusakan mangrove di pantai Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap (56,32% jenis ikan menjadi langka/sulit didapat, dan 35,36% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah lagi tertangkap). Konversi hutan mangrove di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara dilaporkan Amala (2004) menyebabkan berkurangnya secara nyara kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata). Hasil penelitian Onrizal et al. (2008) menunjukkan bahwa semakin bertambah umur mangrove hasil rehabilitasi akan meningkatkan populasi dan keragaman biota pesisir pantai.

3.      Fungsi ekonomi atau fungsi produksi
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya (Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain.

Menurut Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan. 

Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik.

B. Manfaat Mangrove

Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer (primary biotic component), sebagai berikut :

Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan.
a.          Lahan tambak, lahan pertanian dan kolam garam
Di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, kawasan pantai Kalimantan, pantai Sulawesi, Bali, Nusa Tenggra dan pulau-pulau lainnya, banyak lahan mangrove dikonversi untuk lahan tambak, lahan pertanian dan kolam pembuatan garam.  Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengkonversian lahan mangrove menjadi jenis penggunaan lain seperti tersebut di atas dilakukan dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian ekosistem.

Sebenarnya dari sudut pandang ilmiah, lahan mangrove bisa dikonversi menjadi jenis penggunaan lain dalam proporsi dan pada lokasi yang tepat sesuai dengan persyaratan ekologis tumbuhnya mangrove dan persyaratan kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan yang direkomendasikan.

b.         Lahan pariwisata
Beberapa potensi ekosistem mangrove yang merupakan modal penting bagi tujuan rekreasi adalah :
1)      Bentuk perakaran yang khas umum ditemukan pada beberapa jenis pohon mangrove, seperti akar tunjang (Rhizophora spp.), akar lutut (Bruguiera spp.), akar pasak (Sonneratia spp. dan Avicennia spp.), akar papan (Heritiera spp.), dan lain-lain.
2)      Buahnya yang bersifat vivipar (buah berkecambah semasa masih menempel pada pohon) yang diperlihatkan oleh beberapa jenis pohon mangrove, seperti jenis-jenis yang tergolong suku Rhizophoraceae.
3)      Adanya zonasi yang sering berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi dengan hutan rawa).
4)      Berbagai jenis fauna dan flora yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, dimana jenis fauna dan flora tersebut kadang-kadang jenis endemik bagi daerah yang bersangkutan.
5)      Atraksi adat istiadat tradisional penduduk setempat yang berkaitan dengan sumberdaya mangrove.
6)      Saat ini, nampaknya hutan-hutan mangrove yang dikelola secara rasional untuk pertambakan/tambak tumpangsari, penebangan, pembuatan garam, dan lain-lain bisa menarik para wisatawan.

Bentuk-bentuk kegiatan rekreasi yang dapat dikembangkan di hutan mangrove adalah berburu, memancing, berlayar, berenang, melihat atraksi berbagai satwa, fotografi, piknik dan berkemah, melihat atraksi adat istiadat tradisional penduduk setempat, dan lain-lain.

Tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer
*         Flora
Dalam skala komersial, berbagai jenis kayu mangrove dapat digunakan sebagai :
*          Chips untuk bahan baku kertas terutama jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp.
*          Penghasil industri papan dan plywood, terutama jenis Bruguiera spp. dan Heritiera littoralis.
*          Tongkat dan tiang pancang (scalfold) terutama jenis Bruguiera spp., Ceriops spp., Oncosperma sp., dan Rhizophora apiculata.
*          Kayu bakar dan arang yang berkualitas sangat baik.
*         Fauna
Sebagian besar jenis fauna mangrove yang berpotensi dimanfaatkan oleh masyarakat adalah berupa berbagai jenis ikan, kepiting dan burung.
*             Ikan
Berdasarkan hasil penelitian para ahli ada lebih dari sekitar 52 jenis ikan yang hidup di habitat mangrove Indonesia.  Dari berbagai jenis ikan tersebut ada enam jenis yang umum diketemukan, yaitu Mullet (Mugil cephalus), Snapper (anggota Lutjanidae), Milkfish (Chanos chanos), seabass (Lates calcarifer), Tilapia (Tillapia sp.), Mudskipper (Periothalmus spp.)
*         Udang dan kepiting
Ada sekitar 61 jenis udang dan kepiting yang hidup di habitat mangrove Indonesia, diantaranya jenis-jenis yang umum diketemukan di habitat tersebut, adalah : Uca spp. (fiddler crab), Sesarma spp., Scylla serata, Macrobrachium rosenbergii, Penaeus spp. Jenis udang, bandeng dan kepiting biasanya dibudidayakan oleh masyarakat dalam bentuk tambak, sedangkan jenis-jenis ikan lainnya dan Crustaceae serta moluska diperoleh oleh masyarakat melalui penangkapan.
*         Burung
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai lokasi dilaporkan bahwa ada sekitar 51 jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove, diantaranya yang umum ditemukan adalah pecuk (Anhinga sp. dan Phalacocorax sp.), cangak dan blekok (Ardea sp.), bangau/kuntul (Egretta sp. dan Leotoptilos sp.). Masyarakat sekitar mangrove pada waktu-waktu tertentu berburu burung dan memungut telur burung untuk bahan makanan atau untuk dijual, seperti yang terjadi di hutan mangrove Pulau Rambut (Departemen Kehutanan, 1994), Karang Gading dan Langkat (Hanafiah-Oeliem et al. 2000). Hal yang sama juga penulis temui di berbagai kawasan mangrove seperti di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua dan pulau-pulau lainnya.
*         Lebah madu
Hutan mangrove merupakan salah satu tempat bersarang yang baik bagi lebah madu, sehingga mangrove sangat potensial untuk menghasilkan madu. Umumnya, lebah madu membuat sarang pada pohon Avicennia spp, Ceriops spp., dan Excoecaria agallocha. Dengan adanya lebah madu membuat sarang di pohon-pohon mangrove akan sangat menguntungkan bagi masyarakat di sekitar kawasan mangrove, yakni dapat memungut madu. Selain memungut madu dari alam dari alam, masyarakat juga bisa mendapatkannya dengan beternak lebah madu.

Berdasarkan kegunaan produk yang dihasilkannya maka produk-produk ekosistem mangrove dikelompokkan menjadi dua yaitu : produk langsung (Tabel 2) dan produk tidak langsung (Tabel 3). Beberapa produk mangrove yang saat ini sudah diusahakan secara meluas dan komersial adalah sebagai berikut :
(a)  Arang
Arang digunakan secara tradisional untuk memasak sehari-hari. Di beberapa negara berkembang arang tersebut telah diusahakan secara komersial dan diekspor, contoh : Rhizophora mucronata dan Rh. apiculata (nilai kalori kayu 7.300 kal/g).
(b)  Kayu Bakar
Kayu bakar dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di sekitar pesisir untuk  keperluan sehari-hari, contoh : Ceriops, Avicennia, Xylocarpus, Heritiera, Excoecaria, Bruguiera dan Lumnitzera .
(c)  Ekstraksi Tanin
Tanin adalah produk hutan mangrove yang dapat dipakai untuk   keperluan pabrik tinta, plastik dan lem. Selain itu juga tanin digunakan untuk mencelup jala ikan dan menyamak bahan dari kulit, contoh : kulit batang Rhizophora  (kandungan tanin 27 %), Bruguiera gymnorrhiza (kandungan tanin 41 %), dan Ceriops tagal (kandungan tanin 46 %).  
(d)  Destilasi Kayu
Kegiatan destilasi kayu umumnya dilakukan di negara Thailand, alat destilasinya terdapat di Ranong, pesisir barat Thailand.  Bahan mentah destilasi ini diperoleh dari lubang-lubang angin alat pembakaran arang.  Bahan mentah destilasi ini mengandung pyroligneous yang bisa dipecah menjadi asam asetat, metanol dan tar dengan perbandingan 5.5 %, 3.4 % dan 6.6 % berturut-turut.
(e)   Kayu Chips
Kayu chips ini merupakan bahan baku untuk pembuatan rayon, negara yang membuat kayu chips dari mangrove adalah Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina dengan tujuan ekspor terutama ke Jepang.

3. Pemafaatan Mangrove yang Lestari
Secara garis besar minimal ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang lestari yang dapat dilakukan oleh masyarakat yaitu (a) tambak tumpangsari, (b) hutan rakyat, (c) budaya mangrove untuk mendapatkan hasil hutan selain kayu, dan (d) bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan.

A. Tambak Tumpangsari
Tambak tumpangsari (sylvofishery) ini merupakan unit tambak yang didalamnya mengkombinasikan bagian lahan untuk pemeliharaan ikan/kepiting dan bagian lahan untuk penanaman mangrove. Sampai saat ini dikenal 5 macam model tambak tumpangsari, yaitu model empang tradisional, model komplangan, model empang terbuka, model kaokao dan model tasik rejo. Sistem tambak tumpangsari ini, sebagaimana dilaporkan oleh Quarto (1996, 2000), Fitzgerald (2000) sudah banyak diterapkan diberbagai negara dan merupakan alternatif pengelolaan mangrove yang lestari.

Perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 80 : 20 diterapkan pada hutan mangrove yang masih utuh , baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan/tanah milik.  Perbandingan ini lebih menekankan kepada aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya daripada hasil tambak, berupa ikan atau udang. Sedangkan perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 30 : 70 digunakan untuk hutan mangrove yang berada di luar kawasan hutan yang telah banyak dibuka/digarap guna peruntukan lain.  Perbandingan ini lebih diarahkan untuk memberi peluang kepada masyarakat dalam meningkatkan hasil pendapatan dari produksi tambak berupa ikan atau udang tanpa meninggalkan aspek kelestariannya.

Selain model tambak tumpangsari, terdapat tambak terbuka yang merupakan kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman mangrove).  Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai.

B. Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat dikelola secara berkelanjutan, yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips).  Jenis-jenis pohon yang umumnya diusahakan adalah Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. dengan siklus tebang sekitar 15 – 30 tahun tergantung pada tujuan penanaman.

C. Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu
Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya  madu, tanin, pakan ternak, dan lain-lain. Beternak lebah dan memanen madu di hutan mangrove dipandang sebagai salah satu manfaat mangrove yang tidak memberikan dampak negatif terhadap fungsi dasar mangrove serta terhadap bahan-bahan yang dihasilkan oleh hutan mangrove. Kehadiaran lebah-lebah tersebut akan sangat menguntungkan bagai regenerasi mangrove terutama pada penyerbukan pohon-pohon mangrove yang tergantung pada serangga penyerbuk yang antara lain adalah lebah. Departemen Kehutanan (1997) menyatakan bahwa beberapa keuntungan dengan beternak lebah di hutan mangrove antara lain adalah:
*      Menyediakan makanan yang bersifat tahan lama bagi penduduk
*      Menghasilkan produk perdagangan dalam bentuk madu dan lilin
*      Menyediakan lapangan kerja ketika petani/nelayan tidak sibuk dengan kegiatan bertani/menangkap ikan
*      Menyediakan lapangan kerja bagi pengrajin setempat untuk membuat peralatan beternak lebah, dan
*      Meningkatkan produksi tanaman lain melalui penyerbukan silang.

Dari segi sosial ekonomi, beternak lebah madu pada dasarnya merupakan begiatan berskala keluarga dan memiliki keununggulan dibandingkan tipe pertanian lainnya (Departemen Kehutanan, 1997) sebagai berikut:
*          Memerlukan inventasi yang relatif kecil
*          Memanfaatkan sedikit lahan dan kualitas lahan bukan merupakan faktor pembatas
*          Dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dewasa
*          Tidak bersaing dengan kegiatan pertanian lainnya dalam hal penggunaan lahan, dan
*          Merupakan suatu kegiatan yang menghasilkan pendapatan dari sumberdaya hutan tanpa merusak sumberdaya tersebut.

D. Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan
Bentuk ini ditujukan untuk mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu dan kayu bakar/arang dari suatu kawasan mangrove. Salah satu contoh pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat yang menguntungkan dan berkelanjutan adalah di batu Ampar, Kalimantan Barat. Hasil penelitian magister Salmah tahun 2001 di hutan mangrove di daerah tersebut menunjukkan besarnya manfaat ekonomis dari ekosistem mangrove, dimana masyarakat lokal mendapatkan manfaat (pendapatan) yang cukup besar dari ekosistem mangrove dengan efisiensi usaha diatas 70 % tanpa merusak hutan.

Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove adalah penataan lahan, dimana seharusnya kawasan lindung berupa tegakan hutan mangrove, dimana yang boleh dilakukan kegiatan budidaya, seperti tambak sylvofishery, permukiman, wisata dan sebagainya.

Usaha-usaha pelestarian yang harus dikembangkan adalah:
1.    Perlindungan kawasan hutan mangrove yang bernilai konservasi tinggi, hendaknya dengan melihat prioritas sebagai berikut:
a)      Hutan mangrove yang berdekatan dengan muara sungai
b)      Hutan mangrove yang berdekatan dengan daerah penangkapan ikan ataupun daerah pengeringan ikan
c)      Hutan mangrove yang berdekatan dengan pemukiman dan industri
d)     Hutan mangrove yang merupakan penyangga mutlak terhadap bahaya erosi maupun banjir
e)      Hutan mangrove yang mempunyai tumbuhan muda yang rapat
f)       Hutan mangrove yang terdapat di suatu pulau
2.    Peremajaan perlu dilakukan pada hutan mangrove yang telah rusak untuk memulihkan fungsi ekosistem dan untuk meningkatkan nilai manfaat langsungnya
3.    Pencagaran ekosistem hutan mangrove hendaknya berdasarkan kriteria yang jelas dan pertimbangan yang rasional

Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Demikian juga kondisi hutan mangrove di Sumatera Barat hanya 4,7% yang baik, sementara 95,3% dalam keadaan rusak. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali hutan mangrove yang rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia dan mendukung pembangunan wilayah pesisir. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang arti penting keberadaan mangrove dalam mendukung kehidupan perekonomian masyarakat pesisir perlu terus digalakkan. Pengikutsertaan masyarakat dalam upaya rehabilitasi dan pengelolaan mangrove dapat menjadi kunci keberhasilan pelestarian mangrove. Upaya ini harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, misalnya melalui kegiatan silvofishery, pemanenan  (seperti: kayu, nira nipah, kepiting bakau, kerang bakau, dan lain-lain) secara lestari serta pengembangan wisata. Isu tsunami dapat menjadi pemicu untuk menggalakkan kembali rehabilitasi hutan mangrove yang rusak di pantai barat Sumatera dalam rangka meredam efek merusak dari tsunami, mengingat pantai barat Sumatera merupakan jalur gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami. Kata kunci: Mangrove, pesisir, rehabilitasi, silvofishery Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992).
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 1994). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan danbinatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktorfaktor tersebutlah yang dapat bertahan dan berkembang. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing umumnya besar (Kartawinata et al., 1979).
Karena berada di perbatasan antara darat dan laut, maka hutan mangrove merupakan ekosistem yang rumit dan mempunyai kaitan, baik dengan ekosistem darat maupun lepas pantai. Mangrove di Indonesia mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu memiliki 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar